Perempuan dalam Bingkai Feminis, Menampik Stereotip Negatif
Selasa, 15/12/2020, 17:06:33
OLEH: FEBI NUR ANISA
terbitan : panturanews.com
Perempuan merupakan hal yang menarik untuk diperbincangkan, apalagi dengan kondisi perempuan di era sekarang. Kaum perempuan sudah aktif ambil bagian dalam perjuangan pada zaman pergerakan sebelum kemerdekaan, maupun pada zaman pasca kemerdekaan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Kongres Perempuan pertama pada tanggal 22 Desember 1928 di Jakarta oleh Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Siti Sundari, dan lain-lain.
Kondisi yang dialami oleh kaum perempuan Indonesia saat ini terbilang sudah jauh lebih baik. Kebebasan perempuan dalam menempuh pendidikan tinggi dan kebebasan menduduki kursi kepemimpinan, serta hadirnya gerakan-gerakan keperempuanan sebagai salah satu contoh upaya konkreat kaum perempuan dalam memperjuangkan haknya.
Perempuan sudah semakin menunjukan eksistensinya misal saja pada penetapan 8 Maret sebagai tanggal spesial bagi perempuan di seluruh dunia, United Nations resmi mengangkat 8 Maret sebagai International Women’s Day. Hal ini juga berarti perempuan sudah mendapat pengakuan atas keberadaanya dalam skala global. Mereka adalah manusia seperti halnya laki-laki, yang membedakan hanya pada kondisi tubuh (biologis). Sedangkan dalam hal lain perempuan berhak atas hal yang sama.
Sebenarnya apa itu feminis? Banyak anggapan bahwa feminis adalah gerakan dari barat, perempuan pembenci laki-laki, pengikut seks bebas dan atau penyuka sesama jenis. Feminis merupakan hasil dari proses panjang yang muncul dari rasa sakit dan kepahitan serta kegetiran akan ketipangan yang berlangsung di tataran masyarakat baik dalam ranah publik, domestik maupun pribadi.
Perempuan bisa sadar akan perbedaan fisik antara perempuan dan lelaki, tapi kesempatan dalam hidup harus sama. Kesempatan untuk mengakses pendidikan, memimpin suatu perusahaan, bekerja di kantor dan banyak hal lain,. demi kehidupan yang lebih sejahtera dan adil. Tidak ada agenda lain selain memperbaiki kehidupan setiap warga Indonesia, dengan mencapai keadilan (sila ke 5 pancasila).
Seharusnya feminisme dan gerakan untuk kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan ini justru dapat menjadikan budaya kita semakin baik. Karena feminisme cocok dengan masyarakat Indonesia dilihat dari sejarah Indonesia penuh dengan tokohtokoh perempuan yang memiliki jiwa feminis seperti Kartini, Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika. Mereka semua dapat mengidentifikasi ketidak adilan, dan ingin melawannya demi Indonesia yang lebih baik. Mungkin mereka tidak pernah menyebut diri mereka sebagai feminism, tapi nilai mereka sama dengan nilai feminisme.
Meski demikian, tidak bisa dihindarkan budaya patriarki atau penempatan laki-laki berada pada posisi tertinggi adalah budaya Indonesia yang cukup kuat, maka sebuah gerakan yang datang dan membuat sebuah perubahan dalam status masyarakat, tentunya tidak akan diterima dengan begitu mudah.
Misalnya saja seorang mahaiswi yang bekerja hingga pulang larut malam, karena siang dan sorenya dipergunakan untuk kuliah akan mendapatkan anggapan miring. Sedangkan jika hal itu dilakukan oleh mahasiswa akan dikatakan hebat. atau seorang ibu yang tidak bisa menyiapkan masakan siang karena harus bekerja di kantor/memang tidak bisa memasak akan muncul anggapan bahwa ia adalah ibu yang tidak kompeten dalam urusan rumah tangga.
Adanya anggapan perempuan baik dan tidak baik, misal perempuan baik harus sudah berada di dalam rumah ketika malam hari, mahir memasak, mahir mencuci sedangkan laki-laki boleh pulang larut malam dan atau tidak bisa memasak. Pekerjaan rumah tangga seolah-olah hanya tugas perempuan, tidak perduli jika ia pulang bekerja dalam kondisi letih, ia harus tetap memasak untuk suaminya, sedangkan hal itu bisa saja diatasi dengan membeli atau pun suaminya yang memasak.
Perempuan adalah manusia juga, ia sama sama memiliki hak maka perlunya pemahaman dalam lingkup terkecil seperti keluarga agar perempuan lebih dilibatkan dalam hal negosiasi. Menurut Aquarini penulis Kajan Budaya Feminis “selalu credible di dalam rumah dan perfect di luar rumah adalah kekerasan terhadap kemanusiaan perempuan”. Maka dari itu, biarkan perempuan mengambil peranya sesuai dengan kemampuan dan keinginan dalam diri tanpa merasa terbebani apalagi menjalankan sesuatu hanya karena ingin menjadi definisi “perempuan baik” oleh orang lain.
(Febi Nur Anisa adalah mahasiswa Teknik Informatika semester 3 Universitas Peradaban Bumiayu (UPB) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)
Komentar
Posting Komentar