Kemana Sebenarnya Arah Gerak Aktivis Perempuan Modern?

Rabu, 21/04/2021, 11:37:23

OLEH: FEBI NUR ANISA

terbitan : panturanews.com



TANGGAL 21 April merupakan momentum memperingati hari pahlawan emansipasi wanita. Pamflet-pamflet mulai bertebaran dengan ucapan “Selamat Memperingati Hari Kartini” yang dibuat oleh berbagai organisasi bahkan instansi.

Tanggal tersebut kerap dijadikan ajang menyuarakan aksi bagi beberapa aktivis perempuan, mengadakan diskusi dan kajiian, atau sekedar share pamflet dan pasang twibbon dengan kata-kata kutipan.

Raden Adjeng Kartini atau Raden Ayu Kartini, merupakan perempuan cerdas pendobrak pembaharuan pada masanya. Raganya begitu haus menyuarakan kemerdekaan perempuan.

Sedikit mengulik sejarah bahwa sebagai seorang putri bangsawan yang hidup pada masa kolonial Belanda, Kartini cukup beruntung jika dibandingkan dengan perempuan pada umumnya. Karena dengan status bangsawanya, ia dapat mengenyam pendidikan dengan mudah.

Dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang mana buku itu adalah kumpulan surat Kartini untuk sahabat penanya, Kartini menceritakan betapa mirisnya keadaan perempuan pribumi yang terkungkung oleh adat dan budaya. Mereka dipingit, dibatasi dalam hal pendidikan, dinikahkan dengan orang yang belum dikenal, bahkan bersedia dimadu.

Kartini begitu menginginkan perempuan pribumi memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Melalui gagasanya, Kartini menyuarakan hak perempuan. Maka meski ia tidak membopong senjata dan berperang melawan penjajah secara langsung, melalui pemikiranya ia mendapat gelar pahlawan emansipasi wanita.

Emansipasi merupakan pembebasan dari belenggu yang berkaitan dengan persamaan hak yang harus diberikan sepantasnya, yakni hak yang telah dirampas atau diabaikan.

Jika dilihat dari sejarahnya arah gerak juang Kartini dalam memerdekakan kondisi perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki (ranah pendidikan), tentu hal ini bisa dikatakan bahwa ia adalah seorang feminis. Mungkin ia tidak pernah mendeklarasikan bahwa ia adalah feminis, namun apa yang ia lakukan jelas menunjukan nilai seorang feminis. 

Meskipun jika dibenturkan pada fakta bahwa ia mau untuk dinikahi Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang yang telah memiliki istri sebelum Kartini. Raden Adipati Joyodiningrat tidak pernah melarang Kartini untuk terus memperjuangkan hak perempuan, bahkan suami Kartini sangat mendukung apa yang sedang ia perjuangkan sampai dengan pendirian sekolah dan penerbitan bukunya.

Sungguh mulia cita-cita seorang Kartini, yang mana pada akhirnya mengantarkan perempuan di masa sekarang bebas merasakan bangku sekolah tanpa batasan, pendidikan bagi seorang perempuan bukanlah hal yang baru lagi, bahkan kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin sudah sangat terbuka dengan lebar. Dalam organisasi atau komunitas di tingkatan perguruan tinggi maupun umum, banyak dari mereka yang telah menduduki posisi strategis sejajar dengan lakilaki. Lalu apa lagi yang hendak diperjuangkan para aktivis perempuan?

Dengan segala kompleksitas tantangan yang dihadapi sekarang, gerakan perempuan harus mulai kembali menata ulang arah geraknya. Jangan-jangan para penggerak perempuan sekarang bukan lagi murni untuk menyejahterakan kaum perempuan. Organisasi dan komunitas hanya dijadikan objek atau jembatan bagi segelintir dari mereka untuk menunjang personal branding, atau lebih kejamnya sekedar eksistensi.

Gerakan perempuan mengalami problematisasi yang sama, bahkan cenderung lebih kompleks hingga hari ini. Betapa sejarah memperlihatkan bahwa gerakan perempuan mengalami represi yang tajam dibandingkan gerakan lain.

Di masa terdahulu para aktivis bekerja secara luas untuk membangun bangsa dan menyejahterakan kaum perempuan. Kondisi ini menciptakan kekhawatiran ke depan tentang masa dengan gerakan perempuan. Bagaimana agenda tetap memiliki bahan bakar sekaligus ada konektifitas antara apa kebutuhan dengan agenda yang diperjuangkan para aktivis. 

Kesadaran para aktivis perempuan menjadi penting untuk memastikan, bahwa aksi yang dilakukan terimplementasikan dan menyentuh kebutuhan perempuan. Bukan semata-mata pergerakan dilakukan tanpa esensi dan sibuk eksistensi, apalagi hanya berkutat pada kegiatan yang teknokratis dan administratif

Kembali pada refleksi perjuangan Kartini, bahwa apa yang seharusnya dilakukan dan dicita-citakan para aktivis perempuan, haruslah atas dasar kebutuhan real kaum perempuan, bukan semata-mata kepentingan pribadi.

(Febi Nur Anisa adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Lafran Pane Cabang Tegal, Jawa Tengah) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: pada 2565

Tingkatkan Produktifitas Kerja Milenials Dengan Laptop ASUS Vivobook Pro 14 OLED M3400

Trend Digital Marketing 2022